11/25/2010

menyalakan lilin bersama raja ibn haiwah

“Assalamu’alaikum, wahai Raja!” -Sa’d ibn Abi Waqqash, ketika membai’at Mu’awiyah ibn Abi Sufyan- Al Imam Ibnul Atsir dalam Al Kamil fit Tarikh 3/405 merekam adegan pembai’atan Mu’awiyah oleh Sa’ad ibn Abi Waqqash ini. Awalnya Mu’awiyah marah. “Apa salahnya Anda memanggilku Amirul Mukminin?”, katanya. “Demi Allah”, kata Sa’d, “Aku tidak suka memperoleh apa yang kau dapat dengan cara yang kau gunakan!” Ya, wajar bagi Sa’d mengatakan demikian. Beberapa hari sebelumnya, sang keponakan, Hasyim ibn ‘Utbah ibn Abi Waqqash menghadapnya disertai perwakilan berbagai kabilah. “Demi Allah wahai Paman”, kata Hasyim, “Ada seratus ribu pedang terhunus yang berpendapat bahwa engkaulah yang paling berhak memegang kepemimpinan kaum muslimin!” Sang keponakan mungkin benar. Dari kesepuluh sahabat Rasulullah yang beliau jamin ke surga, tinggal Sa’d ibn Abi Waqqash yang kini masih hidup. Ketika itu, Sa’d menunduk dan menitikkan air mata. “Demi Allah Ananda”, jawabnya sambil menatap lekat mereka yang hadir dengan mata berkaca-kaca, “Aku hanya menginginkan satu saja dari seratus ribu pedang itu; yang jika kupukulkan pada seorang mukmin pedang itu takkan berdaya; tapi jika kupukulkan pada musuh Allah maka ia akan membelah dengan ketajamannya.” Kata-kata Sa’d, paman kebanggaan Sang Nabi ini, diabadikan oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah 8/72. Mungkin sejak itulah, Mu’awiyah menyadari bahwa dia memang seorang raja, dan Daulah ‘Umayyah yang didirikannya adalah sebuah kerajaan. Bukan Khilafah. Apalagi setelah sampai kepadanya riwayat tentang nubuwat Rasulullah yang berbunyi, “Khilafah sepeninggalku tigapuluh tahun lamanya. Setelah itu akan datang masa kerajaan.” Maka satu saat diapun berkata, “Aku adalah raja pertama!” Kalimat ini beserta penjelasannya bisa kita rujuk dalam karya Ibn ‘Abdil Barr, Al Isti’aab 1/254, dan karya Ibnu Katsir, Al Bidayah wan Nihayah 8/135. DARI KHILAFAH KE MULK Maka berakhir sudah masa Khilafah dan datanglah masa kerajaan; Daulah Bani ‘Umayyah. Sistem Mulk atau Monarki, yang telah ribuan tahun mengisi kehidupan manusia –jauh mendahului demokrasi awal yang konon lahir di Athena- dengan berbagai kebaikan dan keburukannya kini menaungi sekaligus mengangkangi kaum muslimin. Sistem ini, yang direpresentasikan dua kekuatan dunia di masa Sang Nabi; Romawi dan Persia, kini memerancah negeri Islam. Segala tata kehidupan yang indah dan meriah di bawah Khilafah berubah drastis sejak berdirinya Daulah ‘Umayyah ini. Abul A’la Al Maududi dalam Al Khilafah wal Mulk mendata berbagai perubahan itu menjadi pokok-pokok pembahasan yang diuraikan begitu luas dengan berbagai riwayat dan analisis. Beberapa yang bisa kita lihat di sana adalah; perubahan aturan pengangkatan, perubahan cara hidup, perubahan anggaran dan Baitul Maal, hilangnya kebebasan berpendapat, hilangnya kemerdekaan peradilan, berakhirnya pemerintahan berdasar Syuraa, munculnya fanatik kesukuan, dan hilangnya kekuasaan hukum. Penjelasan gamblang oleh beliau bisa kita seksamai dalam Al Khilafah wal Mulk 183-204. Dari sederet perubahan yang menimbulkan banyak masalah itu, fenomena kebobrokan paling mencolok adalah soal merembakanya kezhaliman. Untuk sekedar mengambil misal, di masa kekuasaan Mu’awiyah terjadilah hal ini: Muhammad ibn Abi Bakr, saudara ‘Aisyah, ipar Sang Nabi, dibunuh dan jasadnya dimasukkan ke dalam bangkai keledai lalu dibakar. Peristiwa menyesakkan ini termaktub dalam karya Ibn ‘Abdil Barr, Al Isti’aab 1/235; At Thabari, Tarikhul Umam wal Muluk 4/79; Ibn Al Atsir, Al Kamil 3/180; dan Ibn Khaldun, At Tarikh 2/182. Demikian hal yang tak kalah kejam terjadi pada sahabat kesayangan Nabi, ‘Ammar ibn Yassir, ‘Amr ibn Hamk, dan lainnya sebagaimana diabadikan para ‘Alim sejarawan semisal: Ahmad, Al Musnad 6538, 6929; Ibn Sa’d, Ath Thabaqat 3/253, 6/25; Ibn Katsir, Al Bidayah 8/48; dan Ibn Hajar Al ‘Asqalani, Tahdzibut Tahdzib 8/24. Juga tentang dikubur hidup-hidupnya seorang ‘alim lagi shalih bernama Hujur ibn ‘Adi yang membuat ‘Aisyah, Hasan Al Bashri, dan para sahabat mulia memprote keras Mu’awiyah; Ini bisa kita lihat dalam anggitan Ath Thabari, At Tarikh 4/190-207; Ibn ‘Abdil Barr, Al Isti’aab I/135; Ibn Al Atsir, Al Kamil 3/234-242; Ibn Katsir, Al Bidayah 8/50-55; dan Ibn Khaldun, At Tarikh 3/14. Di masa Yazid ibn Mu’awiyah, yang ditunjuk oleh ayahnya menjadi penguasa dan menjadi bukti teguh berakhirnya Khilafah dan mulainya Mulk, kita tahu sejarah kekuasaan semakin tak enak dibaca. Katakanlah kita abai atas perdebatan apakah tindakan cucu tercinta Rasulullah Husain ibn ‘Ali itu sah ataukah tidak; apa yang terjadi kemudian sungguh adalah tragedi. Detail pembantaian keluarga mulia dan bagaimana perlakuan kejam itu tidak saya sampaikan di sini; cukup mohon periksa jika ada luang ke halaman-halaman ini; Ath Thabari, At Tarikh 4/309; Ibnu Atsir, Al Kamil 3/282-299; Ibn Katsir, Al Bidayah 8/170-204. Kalaupun kita menerima riwayat bahwa Yazid tak punya niat membunuh Al Husain dan menyesali kejadian itu, kita masih bertanya; mengapa dia tak bertindak sedikitpun terhadap para pelakunya? Dan, kejadian paling memilukan di masa Yazid terjadi di tahun 73 H; penyerbuan Madinah, kota yang dijamin Sang Nabi dengan sabdanya dalam riwayat Al Bukhari, Muslim, Ahmad, dan An Nasa’i, “Tak seorangpun memperlakukan Madinah dengan kejahatan melainkan Allah pasti akan lumerkan di dalam neraka seperti lumernya timah hitam.” Berdasar riwayat Az Zuhri; atas tuduhan pemberontakan yang dipimpin walinya, ‘Abdullah ibn Hanzhalah, kota Madinah ditaklukkan dan para pasukan diizinkan melakukan apapun sesukanya selama tiga hari hingga tiap sudutnya dirampok habis-habisan. Tujuh ribu orang asyraf dari kalangan keluarga Nabi, sahabat dan putra-putranya terbunuh. Ibnu Katsir bahkanmenulis bahwa seribu wanita hamil tanpa pernikahan dari kejadian di hari-hari itu. Rincian kejadian ini bisa kita periksa dalam; Ath Thabari, At Tarikh 4/372-379; Ibn Al Atsir, Al Kamil 3/310-313; dan Ibn Katsir, Al Bidayah 8/219-221, dan 372. KONSPIRASI KESHALIHAN DI TENGAH KERUSAKAN Dengan maksud tak memperpanjang daftar hal-hal yang menggidikkan ini, mari melompat ke saat-saat menjelang tampilnya ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz. Ya, di sana masih ada Al Hajjaj ibn Yusuf Ats Tsaqafi, seorang ‘alim yang punya andil merumuskan sistem harakat untuk mushhaf yang kita baca. Tapi bukankah dia seperti kata ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz sendiri, “Andai ummat-ummat dan bangsa datang dengan segala kejahatan mereka; dan kita Bani ‘Umayyah datang dengan Al Hajjaj seorang, demi Allah takkan ada yang bisa mengalahkan kita.” Para penulis riwayat menghitung, Al Hajjaj bertanggungjawab atas pembunuhan sekitar 120.000 orang yang kebanyakan adalah ‘ulama dan orang-orang shalih. Belum lagi ketika dia meninggal, masih ada sekitar 80.000 jasad yang ditemukan di penjaranya, mati tanpa peradilan yang hak. Rincian ini bisa kita teliti dalam redaksi Ibn ‘Abdil Barr, Al Isti’aab 1/353 dan 2/571; Ibn Al Atsir, Al Kamil 4/29 dan 133; Ibn Katsir, Al Bidayah 9/2, 83, 91, 128, 129, dan 131-138; serta Ibn Khaldun, At Tarikh 3/39. Di antara mereka yang dibunuh Al Hajjaj, terdapat sahabat-sahabat utama Rasulullah seperti ‘Abdullah ibn Az Zubair ibn Al ‘Awwam, putra Asma’ binti Abi Bakr Ash Shiddiq, An Nu’man ibn Basyir, ‘Abdullah ibn Shafwan, dan ‘Imarah ibn Hazm. Kepala mulia ‘Abdullah yang pernah diciumi Rasulullah itu dipenggal dan dikelilingkan ke berbagai kota; Makkah, Madinah, hingga Damaskus. Jasad-jasad mereka disalibkan di kota Makkah, dijadikan tontonan hingga berbulan lamanya. Keterangan ini bisa kita telusur dalam tulisan Ibn ‘Abdil Barr, Al Isti’aab 1/353-354; Ath Thabari, At Tarikh 5/33-34; Ibn Katsir, Al Bidayah 8/245 dan 332; Ibn Khaldun, At Tarikh 3/39; serta Ibn Sa’d, Ath Thabaqat 6/53. Selain itu, patut dicatat nama Sa’id ibn Jubair, tabi’in agung, murid kesayangan ‘Abdullah ibn ‘Abbas yang dikuliti dan disayati dagingnya oleh Al Hajjaj. Juga tindakan dan cercaannya yang mengancami ‘Abdullah ibn ‘Umar, ‘Abdullah ibn Mas’ud, Anas ibn Malik, dan Sahl ibn Sa’d As Sa’idi, Radhiyallaahu ‘Anhum. Di masa ini pula para penguasa melaksanakan khuthbah pertama Jum’at sambil duduk, menjadikan caci-maki terhadap ‘Ali ibn Abi Thalib dan keluarganya sebagai rukun khuthbah, dan melangsungkan khuthbah hari raya sebelum shalatnya. Bid’ah-bid’ah yang dahsyat ini bisa kita telusuri dalam anggitan Ibn Al Atsir, Al Kamil 4/119, 300; Ath Thabari, At Tarikh 6/26; dan Ibn Katsir, Al Bidayah 8/258, 10/30-31. Adakah kerusakan ummat sebesar ini kita temui hari-hari ini? Itu baru sebagian dari apa yang dilakukan Al Hajjaj. Padahal ada banyak penguasa lain yang menebar kezhaliman pada masa itu. Satu saat, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziiz mengeluh dalam doanya, “Al Hajjaj di ‘Iraq, Al Walid ibn ‘Abdul Malik di Syam, Qurrah ibn Syirk di Mesir, ‘Utsman ibn Hayyan di Madinah, Khalid ibn ‘Abdullah Al Qashri di Makkah! Ya Allah, sepenuh bumi ini telah penuh dengan angkara murka.. Maka selamatkanlah ummat ini!” Doa dan kesaksian ini direkam oleh Ibn Al Atsir dalam Al Kamil fit Tarikh 4/132. Alhamdulillah. Segala puji bagiNya. Allah menjawab doa ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz itu dengan dirinya. Menakdirkan untuknya 2 tahun masa kekuasaan yang akan menjadi buah bibir sepanjang sejarah. Dua tahun yang menyelamatkan muka Bani ‘Umayyah di hadapan ummat Rasulullah. Dua tahun yang lahir dari ikhtiyar seorang ‘alim yang tak berputus asa terhadap rahmat Allah di tengah sistem monarki yang bobrok. Dari fakta yang kita baca di atas, hampir-hampir saya berkesimpulan; keadaan ummat saat itu di bawah sistem Mulk, jauh lebih menyedihkan dibanding kita di Indonesia kini di bawah demokrasi. ‘Alim agung yang ingin saya sebut itu adalah Raja’ ibn Haiwah. Betapa gigih upayanya memasukkan nama ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz sebagai pengganti Sulaiman ibn ‘Abdul Malik, konspirasinya agar Bani ‘Umayyah mau menerima, dan siasatnya agar ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz bersedia bisa kita simak dalam karya Imam ‘Abdullah ibn ‘Abdil Hakam, Al Khalifatul ‘Adil ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, Khamisu Khulafaair Raasyidiin, 43-47; Ibn Al Jauzi, Sirah ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz; Khalid Muhammad Khalid, Khulafaaur Rasuul, 673-681. Maafkan, tentang keadilan yang kemudian tergelar, tentang kemakmuran hingga tak seorangpun bersedia menerima zakat, tentang kesejukan yang kemudian dirasakan setiap jiwa, tentang ketenteraman hingga serigalapun enggan memangsa domba, tentang kezhaliman dan bid’ah-bid’ah yang terhapus.. Maafkan, saya tak ingin mengisahkannya lagi. Kita telah tahu dengan setumpuk rindu. Dan semua itu, Allah kehendaki terjadi atas ikhtiyar seorang Raja’ ibn Haiwah; ‘alim yang tahu bagaimana harus bertindak dalam sistem yang rusak dan keadaan yang bobrok. KESIMPULAN Kita kemudian sepakat, baik Mulk maupun demokrasi jauh dari ideal yang kita citakan. Keduanya jauh dari Khilafah yang kita rindukan. Tetapi dari ‘alim agung yang bernama Raja’ ibn Haiwah, kita belajar agar tak pernah kehilangan harapan untuk menghadirkan kebenaran, keadilan, dan kemashlahatan dalam sistem dan keadaan yang bagaimanapun rusaknya. Demi Allah, seburuk-buruk pencuri adalah pencuri harapan. Oleh karena itulah Rasulullah menyebutkan dalam redaksi Al Bukhari dan Muslim, “Siapa yang mengatakan manusia telah hancur, maka dialah orang yang paling hancur.” Kita belajar dari Raja’ untuk mengamalkan kaidah ushul; “Maa laa tudraku kulluhu, fa laa tutraku kulluh. Apa-apa yang tidak bisa kita raih sepenuhnya, jangan kita tinggalkan sepenuhnya.” Dan Raja’ tidak mengutuk sistem Mulk itu sebagai kekufuran warisan Romawi dan Persia betapapun itu fakta dan betapapun seperti apa kerusakan ummat yang ada di sana. Dia tidak meninggalkannya. Dia terus berikhtiyar di dalamnya. Dia mendekati sang raja, Sulaiman ibn ‘Abdul Malik dan mencari peluang menghadirkan kebajikan dalam tiap kebijakan yang akan ditetapkan. Dan akhirnya, dengan sebuah konspirasi unik, dia hadirkan ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz untuk ummat di tengah sebuah sistem yang rusak dan keadaan yang bobrok. Raja’ dan bahkan ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz sendiri memang tak kuasa mengubah sistem itu. Ya, mereka tak mampu. Setelah ‘Umar wafat, kembalilah kekuasaan diwariskan turun-temurun, Baitul Maa kembali melayani penguasa, foya-foya istana berjaya, dan kezhaliman merebak di mana-mana. Raja’ dan ‘Umar tidak mampu mengubah sistem itu, tapi mereka telah berbuat apa yang mereka mampu. Dan hingga kini ummat mengenang mereka penuh cinta. Untuk rekan-rekan yang sepakat, mari nyalakan lilin bersama Raja’ ibn Haiwah. Mari lakukan sesuatu. Bukan hanya mengutuk gelap dan sistem yang tak sreg di hati ini. Mari nyalakan lilin bersama Raja’. Siapa tahu Allah karuniakan kepada kita kesempatan untuk menghadirkan ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz di tengah demokrasi dan kondisi bangsa yang sama-sama tak kita suka ini, sebagaimana dulu Allah karuniakan peluang pada Raja’ dan kawan-kawannya di tengah Mulk yang rusak. Dengan penuh doa, dengan penuh harap padaNya, saya akan gunakan hak pilih saya Rabu besok. Memilih pemimpin untuk negeri ini. Oh iya. Mungkin memang belum ada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz di antara kandidat. Tapi setidaknya saya ingin berbuat. Karena saya yakin kemashlahatan masih bisa dihadirkan. Meski dalam keadaan bagaimanapun. Meski sekecil apapun.. Insyaallah, harapan itu masih ada;)

SHODAKOH

Dalam sebuah hadits terdapat penjelasan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengenai aktifitas bersedekah yang paling utama alias afdhol. Tidak semua bentuk bersedekah bernilai afdhol. Bagi orang yang berusia muda dan sedang energik tentunya bersedekah memiliki nilai lebih tinggi di sisi Allah daripada bersedekahnya seorang yang telah lanjut usia, sakit-sakitan, dan sudah menjelang meninggal dunia. Untuk itulah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memberikan gambaran kepada ummatnya mengenai sedekah yang paling afdhol. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ حَرِيصٌ تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى الْفَقْرَ وَلَا تُمْهِلْ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ “Seseorang bertanya kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam: “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling afdhol?” Beliau menjawab: “Kau bersedekah ketika kau masih dalam keadaan sehat lagi loba, kau sangat ingin menjadi kaya, dan khawatir miskin. Jangan kau tunda hingga ruh sudah sampai di kerongkongan, kau baru berpesan :”Untuk si fulan sekian, dan untuk si fulan sekian.” Padahal harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli waris).” (HR Bukhary) Coba lihat betapa detilnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menggambarkan ciri orang yang paling afdhol dalam bersedekah. Sekurangnya kita temukan ada empat kriteria: (1) Dalam keadaan sehat lagi loba alias berambisi mengejar keuntungan duniawi; (2) dalam keadaan sangat ingin menjadi kaya; (3) dalam keadaan sangat khawatir menjadi miskin dan (4) tidak dalam keadaan sudah menjelang meninggal dunia dan bersiap-siap membuat aneka wasiat soal harta yang bakal terpaksa ditinggalkannya. Pertama, orang yang paling afdhol dalam bersedekah ialah orang yang dalam keadaan sehat lagi loba alias tamak alias berambisi sangat mengejar keuntungan duniawi. Artinya, ia masih muda lagi masa depan hidupnya masih dihiasi aneka ambisi dan perencanaan untuk menjadi seorang yang sukses, mungkin dalam karirnya atau bisinisnya. Dalam keadaan seperti ini biasanya seseorang akan merasakan kesulitan dan keengganan bersedekah karena segenap potensi harta yang ia miliki pastinya ingin ia pusatkan dan curahkan untuk modal menyukseskan berbagai perencanaan dan proyeknya. Dengan dalih masih dalam tahap investasi, maka ia akan selalu menunda dan menunda niat bersedekahnya dari sebagian harta yang ia miliki. Karena setiap ia memiliki kelebihan harta sedikit saja, ia akan segera menyalurkannya ke pos investasinya. Setiap uang yang ia miliki segera ia tanam ke dalam bisnisnya dan ia katakan ke dalam dirinya bahwa jika ia bersedekah dalam tahap tersebut maka sedekahnya akan terlalu sedikit, lebih baik ditunda bersedekah ketika nanti sudah sukses sehingga bisa bersedekah dalam jumlah ”signifikan” alias berjumlah banyak. Akhirnya ia tidak kunjung pernah mengeluarkan sedekah selama masih dalam masa investasi tersebut. Kedua, bersedekah ketika dalam keadaan sedang sangat ingin menjadi kaya. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam seolah ingin menggambarkan bahwa orang yang dalam keadaan tidak ingin menjadi kaya berarti bersedekahnya kurang bernilai dibandingkan orang yang dalam keadaan berambisi menjadi kaya. Sebab bila seorang yang sedang berambisi menjadi kaya bersedekah berarti ia bukanlah tipe orang yang hanya ingin menikmati kekayaan untuk dirinya sendiri. Ia sejak masih bercita-cita menjadi kaya sudah mengembangkan sifat dan karakter dermawan. Hal ini menunjukkan bahwa jika Allah izinkan dirinya benar-benar menjadi orang kaya, maka dalam kekayaan itu dia bakal selalu sadar ada hak kaum yang kurang bernasib baik yang perlu diperhatikan. Sekaligus kebiasaan bersedekah yang dikembangkan sejak seseorang baru pada tahap awal merintis bisnisnya, maka hal itu mengindikasikan bahwa si pelaku bisnis itu sadar sekali bahwa rezeki yang ia peroleh seluruhnya berasal dari Yang Maha Pemberi Rezeki, Allah Ar-Razzaq. Hal ini sangat berbeda dengan orang kaya dari kaum kafir seperti Qarun, misalnya. Qarun adalah tokoh kaya di zaman dahulu yang di dalam meraih keberhasilan bisnisnya menyangka bahwa kekayaan yang ia peroleh merupakan buah dari kepiawaiannya dalam berbisnis semata. Ia tidak pernah mengkaitkan kesuksesan dirinya dengan Yang Maha Pemberi Rezeki, Allah swt. قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِ “Qarun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku".(QS Al-Qshshash ayat 78) Ketiga, sedekah menjadi afdhol bila si pemberi sedekah berada dalam keadaan khawatir menjadi miskin. Walaupun ia dalam keadaan khawatir menjadi miskin, namun hal ini tidak mempengaruhi dirinya. Ia tetap berkeyakinan bahwa bersedekah dalam keadaan seperti itu merupakan bukti ke-tawakkal-annya kepada Allah. Ia sadar bahwa jika Allah kehendaki, maka mungkin sekali dirinya menjadi kaya atau menjadi miskin. Itu terserah Allah. Yang pasti keadaan apapun yang dialaminya tidak mempengaruhi sedikitpun kebiasaannya bersedekah. Ia sudah menjadikan bersedekah sebagai salah satu karakter penting di dalam keseluruhan sifat dirinya. Persis gambarannya seperti orang bertaqwa di dalam Al-Qur’an: أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ ”... yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.” (QS Ali Imran ayat 133-134) Keempat, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sangat mewanti-wanti agar jangan sampai seseorang baru berfikir untuk bersedekah ketika ajal sudah menjelang. Sehingga digambarkan oleh beliau bahwa orang itu kemudian baru menyuruh seorang pencatat menginventarisasi siapa-siapa saja fihak yang berhak menerima harta miliknya yang hendak disedekahkan alias diwasiatkan. Ini bukanlah bentuk bersedekah yang afdhol. Sebab pada hakikatnya, seorang yang bersedekah ketika ajal sudah menjelang, berarti ia melakukannya dalam keadaan sudah dipaksa oleh keadaan dirinya yang sudah tidak punya pilihan lain. Bila seseorang bersedekah dalam keadaan ia bebas memilih antara mengeluarkan sedekah atau tidak, berarti ia lebih bermakna daripada seseorang yang bersedekah ketika tidak ada pilihan lainnya kecuali harus bersedekah. Itulah sebabnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam lebih menghargai orang yang masih muda lagi sehat bersedekah daripada orang yang sudah tua dan menjelang ajal baru berfikir untuk bersedekah. Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang senantiasa bersedekah yang paling afdhol. Terimalah, ya Allah, segenap infaq dan sedekah kami di jalanMu. Amin.-

TANI MANDIRI LAMONG: Batang padi Mig6 Plus lbh kokoh.3gp

TANI MANDIRI LAMONG: Batang padi Mig6 Plus lbh kokoh.3gp

Batang padi Mig6 Plus lbh kokoh.3gp

Panen Raya Padi MiG6 Plus di Lamongan Jawa Timur.flv